Senin, 11 Juli 2016

BADA KUPAT (catatan kecil Pak Dwi Cahyono dalam lebaran 2016)

BODO KUPAT DALAM KONTEKS BUDAYA JAWA: Sebuah Lebaran Tambahan di Penghujung Pekan Idul Fitri
Sesuai penamaannya "Rioyo Kupat (Hari Raya Ketupat)", unsur pokok dari rioyo ini adalah menu kuliner khusus, yaitu penganan berupa ketupat (kupat). Yang dimaksud dengan ketupat adalah makanan pengganti nasi, yang terbuat dari beras yang dimasak ke dalam ayaman daun kelapa muda (janur) berberbangun bujur sangkar, empat persegi panjang ataupun jajaran genjang. Ada beberapa sebutan ketupat berdasarkan bentuknya, antara lain kupat biasa, kupat luar, dan kupat kodok.
Pada wilayah Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, waktu penyelenggaraan jatuh di hari ke-7 dalam pekan Ariadi (hari raya, lebaran) Idul Fitri. Hal ini berbeda dengan waktu penyajian ketupat pada perhelatan Idul Fitri di DKI dan sekitarnya maupun pada wilayah tinggal etnik Melayu lain, yaitu di hari pertama pekan Idul Fitri. Perbedaan lainnya adalah bukan hanya dihidangkan untuk para tamu dan disampaikan ke kerabat dan/atau tetangga dekat (ater-ater), namun ada sejumlah keluarga yang membawanya ke masjid atau surau untuk dikenduri bersama (genduren).
Sebagai suatu panganan khas, sebenarnya kupat bukan hanya hadir pada konteks Lebaran Idul Fitri,.namun hadir sebagai unsir penganan alternasi selain nasi untuk menu makanan tertentu, seperti soto (Sulawesi: coto dan konro), kethoprak, kupat sayur, kupat tahun dsb., yang terkadang digantikan dengan lonthong atau sompil. Namun penyajiannta secara serempak di perhelatan Idul Fitri menjadikan ketupat sebagai kuliner khasnya. Bahkan ketat menjadi ikon lebaran selain bedug dan masjid. Selain dalam fungsi itu, ketupat dan ubo rampe lain acapkali kedapatan digantungkan di atas pintu hingga kurun waktu panjang sebagai media penolak bahaya gaib (magi protectoric) untuk rumah tinggal.
Kendati ketupat dijadikab ikon Islami dalam konteks peristiwa Idulfitri, namun bukan berarti bau hadir di Nusantara sejak adanya pengaruh agama dan budaya Islam (abad XV-XVI M), namun jauh lebih awal. Terbukti oleh adanya sebutan "kupat" atau kata jadiannya "khupat-kupatan, akupat, atau pakupat" dalam Kakawin Kresnayana (13.2, 31.13), Kakawin Subadra Wiwaha (27.8), Kidung Sri Tanjung (36.f) dan "kupatay" dalam Kakawin Ramayana (26.25). Hal ini menjadi petunjuk bahwa sebagai penganan kupat telah hadir semenjak Masa-Hindu Buddha -- embrionya telah ada pada abad IX dan lebih marak lagi abad XIV-XV M.
Oleh karena itu, pendapat yang mengasalkannya dari bahasa Arab hanya terjebak pada keserupaan kata dan kurang pada tempatnya. Bahan makanan dari beras dan pembungusnya dari janur memberi petunjuk bahwa tradisi "kupatan" adalah berlatar budaya Melayu. Mulanya, kupat adalah penganan yang disajikan di sembarang waktu untuk menu makanan tertentu, yang kemudian dijadikan sebagai menu khusus ketika lebaran tiba. Selain kupat, pada moment waktu ini hadir pula penganan lain seperti sompil dan lepet.
Diantara berbagai daerah di Jawa Timur yang mentradisikan Bodo Kupat, Tenggalek boleh dibilang yang paling kental. Bahkan, Rioyo Kupat di Kecamatan Durenan jauh lebih marak ketimbang hari ke-1 sd ke-6 pekan Idul Fitri. Silaturohmi antar tetangga, kerabat di daerah yang sama maupun kehadiran kerabat jauh dari luar kota justru berlangsung di hari ke-7 pekan Idul Fitri ini. Sejak satu hingga dua dasawarsa terakhir tradisi kupatan yang demikian meluas hingga ke kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Trenggalek, bahkan merambah pula ke beberapa kecamatan di Kabupaten Tulungagung.
Demikianlah, teadisi "Kupatan" yang hadir pada Rioyo Kupat dalam konteks Rioyo Idul Fitri adalah perkembangan lokal (local development) di lingkungan para pemang budaya Islam, khususmta di wilayah Jawa Timur. Semoga tukusan ini mrmbuahkan makna. Salam budaya bhumiputra,
"Nuswantarajayati".
CATATAN BAPAK DWI CAHYONO DARI FB 
Sengkaling, 10.Juli 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN BERIKAN KOMENTAR BERKAITAN DENGAN BUDAYA JAWA DI TULUNGAGUNG