Senin, 11 Juli 2016

MUDIK (catatan kecil Pak Dwi Cahyono dalam lebaran 2016)

MUDIK, TRADISI SOSIO-BUDAYA KAUM PERANTAU : Mobilitas Kembali ke Titik Pangkal
Istilah "mudik" yang dipakai untuk menyebut mobitas sosial periodik (tahunan) dari daerah rantau ke daerah asal sebenarnya dipinjam dari kategorisasi dua aliran sungai, yaitu: (1) udik, dan (2) hilir). Kata "udik" besinonim arti dengan "hulu". Salah satu kata jadian untuk kata dasar "udik" adalah "ma+udik = "modik", dan kemudian diucap sebagai "mudik", yang berarti: mobilitas (perjalanan menuju) ke arah udik. Ketika transportasi air via aliran sungai terkalahkan oleh transportasi darat, istlah "mudik" yang semula digunakan untuk transportasi air tetaplah dipakai namun dalam konteks transportasi darat.
Secara lebih spesifik, istilah itu pada akhirnya digunakan dalam konteks keperantauan, yaitu perjalanan pulang para perantau ke daerah asalnya. Lebih khusus lagi, perjanan dari suatu kota besar dimana perantau tinggal ke kota/daerah yang lebih kecil atau ke kampung halaman padamana perantau berasal. Selain itu secara dikotomis kata "udik" diartikannya sebagai: kampung, desa, daerah pedalaman atau daerah seberang yang belum/kurang berkembang, sebagai dikotomi dari kota atau kota besar. Hal ini antara lain tergambar dalam sebutan "orang udik", yang mengkonotasikan orang kampung (wong ndeso). Dalam konteks demikian, istilah "mudik" diaritkan dengan: pulang kampung.
Bagi para perantau yang untuk kurun waktu lama meninggalkan daerahnya, kembali ke daerah asal walau untuk sementara waktu (mudik) adalah keinginan kuat, kerinduan atau bahkan impian. Berbagai daya upaya dilakukan untuk dapat mudik. Syukur bila dapat dijalankan setiap tahun di suatu moment waktu. Tak peduli jarak tempuh yang anat jauh, tak berkeberatan ongkos/biaya yang tidak sedikit dan lebih mahal dari hari-hari biasa, tidak mengapa harus kecapekan dan menghadapi beragam kesulitan dalam proses kemudikannya, demi keinginan, kerinduan ataupun impian itu banyak orang yang mengupayakan diri untuk dapat mudik.
Bagai kaum muslim perantau, momentum itu adalah hari raya (lebaran, rioyo, bodo), utamanya Hari Raya Udul Fitri -- tidak sedikit pula yang menempatkan Hari Raya Idul Adha sebagai momentum untuk mudik, atau sebagian yang lebih kecil lainnya menjadikan perhelatan Maulud Nabi (Muludan) sebagai momentum mudik. Bagi penganut agama lain, hari besar keagaman dari agama yang dianut juga diposisikan sebagai momentum waktu untuk mudik, seperti Hari Natal bagi umat Kristiani, Galungan dan Nyepi bagi umat Hindu, Waisyak bagi umat Buddha, ataupun Imlek bagi umat Kong Hu Chu. Dengan perkataan lain, setiap pemangku agama mempunyai momentum waktu mudiknya sendiri-sendiri.
Mudik secara periodik, tiap tahun misalnya, merupakan siklus waktu, menjadi pola yang berulang dari waktu ke waktu, atau bahkan menjelma sebagai tradisi sosio-budaya yang diberi alasan religis. Demikianlah, terjadi transformasi dalam ruang, yaitu mobiitas sosial horisontal: daerah rantau --》daerah asal. Arah pergerakan mudik dapat digambarkan sebagai "kembali ke titik psngkal". Titik pangkal itulah yang diistilahi dengan "udik" atau semacam areal hulu dan tuk (mata air) pada aliran sungai.
Titik pangkal tak hanya dirupakan sebagai daerah asal, namun juga dimaknai sebagai titik pangkal ganeologis. Oleh karena itu, ziarah ke makam leluhur, silaturomi ke keluarga luas, penelusuran sejarah keluarga bahkan sejarah kampung, reuni keluarga (kekerabatan) dan kesahabatan menjadi tema sentral yang mengisi kegiatan mudik.
Dalam kesempatan itu, para perantau seakan memperoleh ajang untuk mengepresikan atau lebih fulgar lagi "pamer" sukses. Ironisnya, ada diantaranya yang melakukan "kamuflase sukse" -- kepada khalayak di daerah asalnya. Ada pula yang mempamalikan mudik apabila tidak/belum sukses di rantaun Selain itu, aspek memorial dan romantika masa lalu memberi nuansa pada perhelatan mudik. Semuanya itu diposisikan sebagai urgen dan utama pada momentum Lebaran Idul Fitri. Demi hal yang kala itu dipandang penting, jutaaan kaum perantau warga negara Indonesia dan warga negara-negara jiran berbudaya Melayu melakukan mudik. Bagi mereka yang tidak merantau, tradisi mudik dirasa tak berlaku padanya.
Semoga tulisan ringkas ini dapat memberi tambahan pengetahuan. Salam budaya. Nuwun.
Sengkaling, 10 Juli 2016.
CATATAN AHLI SEJARAH DARI UNIVERSITAS NEGERI MALANG BAPAK DWI CAHYONO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN BERIKAN KOMENTAR BERKAITAN DENGAN BUDAYA JAWA DI TULUNGAGUNG