Selasa, 12 Juli 2016

BEDUG (catatan kecil Pak Dwi Cahyono dalam lebaran 2016)

erba-serbi Lebaran ke-2
(Pangeling-eling Musik Islami)
BEDUG DALAM BUDAYA NUSANTARA
Riwayatmu Dulu, Keberadaanmu Kini
Sebuah diantara tiga ikon Idul Fitri, baik dalam wujud dua atau tiga dimensi, adalah bedug. Dua lainnya berupa ketupat (kupat) dan masjid (sigit). Logo ucapan lebaran, baliho besar melintang jalan, bakan pada sejumlah kantor, pertokoan besar (mall), hotel, restoran dan fasiltas publik lainnya, ikon bedug acapkali ditampilkan secara eksklusif. Bedug menjadi suatu waditra (music instrument) yang dimaknai secara khusus di lingkungan budaya Melayu dalam nuansa Islami.
Mengapa pilihan ikonik itu jatuh pada bedug? Hal itu tak lepas pada keberadaan dan fungsi bedung di tempat peribadatan Islam dan fungsi bedug dalam kaitan dengan waktu-waktu penyelenggaraan ritus dalam agama Islam. Pada sejumlah masjid lama, waditra jenis membraphone yang berupa bedug dan/atau waditra silophone yang berupa kenthongan dalam berbagai bentuk dan ukuran ditabuh sebagai petanda waktu (time signal) memasuki waktu-waktu ibadah. Mula-mula ditabuh kenthongan dan disusul dengan bedug "thong, thong, thong ..... duk, duk, dug .....". Pada menara masjid tua, seperti Menara Kudus, bedug gantung yang berkuran kecil dan kenthongan hadir besamaan, yang ditabuh berurutan sebagai petanda waktu sholat. Penempatan pada tubuh menara menegaskan akan fungsinya sebagai alat komuniasi bunyi.
Bedug sebagai petanda bunyi untuk memasuki waktu ibadah dalam ritual Islam telah dipakai sejah akhir abad XVI di situs Islam Banten Lama. Namun demikian bukan berarti bahwa bedug baru ada pada Masa Pertumbuhan Islam. Kidung Malat yang berasal dari medio abad XV menyebut adanya "tegteg", yakni waditra serupa bedug besar. Lantaran besarnya, maka ketika membran dipukul mengeluarkan bunyi."teg, teg, teg ....", suatu penyebutan secara onomatopae.
Demikian pula kenthongan (kulkul), juga telah hadir bersamaan waktu atau sedikit lebih tua daripada tegteg. Bersama dengan bunyi gentha besar (ganta), ketiganya dijadikan petanda waktu. Bunyinya dijadikan sebagai petunjuk waktu, yang diistilahi dengan "tabuh". Selain itu, teteg dan kulkul ada kalanya dibunyikan untuk maksud mengndang hadir khalayak agar berkumpul di suatu tempat padamana waditra ini ditempatkan (parubungan) -- bandingkan dengan Bale Kulkul di Bali. Adapun bunyi kenthongan secara beruntun cepat (titir) menjadi petanda akan adanya bencana atau petaka.
Pada sekitar bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal, bedug ditabuh dalam kaitan dengan ritus puasa dan Idulfitri, yaknii sehari jelang memasuki waktu puasa dan Idul Fitri, dini hari untuk bangunkan sahur, setelah sholat tarwih dan pasca sholat Id. Dalam durasi waktu cukup panjang (30-60 menit) bedug dibunyikan secara berirama oleh dua orang atau lebih secara bergantian dengan sepasang tongkat pemukul (stick), atau bisa juga bersaan secara harmonis pada dua sisi membran yang berbeda. Selain stick yang berujung membulat dipukulkan pada membran (rentang kulit kerbau atau sapi), ada kalanya dipukulkan pada pasak kuyu penguat rentang membran di ujung resonator, yang dinamai dengan "kothekan".
Masyarakat Jawa di Mataraman menamai penabuhan bedug yang demikian dengan "tidur" -- suatu penyebutan "onomatopae", yaitu sebutan berdasarkan bunyi yang dihasilkan "dur, dur, dur ...." oleh waditra bersangkutan. Sebagaima halnya itu, sebutan "bedug" juga merupakann nomatopae, yang didasarkan pada bunyinya "dug, dug, dug, .........". Fenomena onomatopae juga tergambar pada sebutan "budug", yakni bunyi "dug, dug, dug ....." ketika waditra ini dibunyikan. Bagi anak-anak dan remaja, bahkan orang dewasa, sesi menabuh bedug merupakan suasana keriangan tersendiri. Demikian pula bagi mereka yang mendengarkanya. Dahulu hampir tidak ada orang yang komplain lantaran kebisingan suara bedug yang bertalu-talu itu.
Bedug dalam ukuran kecil (jidor) maupun sedang acap tampil dalam absambel musik Islami, yakni terbang-jidor (bandingkan dengan tanjidor di DKI) dan jemblungan. Terkadang pula menjadi salah satu komponen dalam asambel musik gamelan Jawa yang komplit. Pada pihak lain, bedug dalam berbagai ukuran (panjang dan diameternya), ragam bentuk tabung resonatornya, bermembran tunggal atau ganda, maupun cara penempatannya (digantung atau ditumpangkan pada tataban), yang terang bedung kedapatan tidak sedikit di masjid atau surau (langgar, modolah) di penjuru Nusantara. Demikianlah, cukup alasan untuk menyatakan bahwa berdasarkan bentuk, fungsi dan keberadaannya, cukup alasan untuk menyatakan bahwa bedug merupakan ikon yang Islami dalam kaitannya dengan Ariadi Idul Fitri, meski kini fungsi praktisnya ke arah itu kian berkurang.
Akankah pada suatu waktu bedug dan kenthongan (besar-lurus dari batang kayu atau kecil bungkuk dari bonggol bambu ori) bakal sekedar "menjadi cerita masa lampau" bahwa konon di Nusantara pernah terdapat suatu waditra bernama "tegteg, budug, jidor, atau sejenisnya yang memiliki akar sejarah yang pajang serta memasyarakat. Kala itu, bisa jadi bedug tinggal merupakan benda koleksi museum dan mendapat predikat "almarhum bedug".
Semoga tulisan ringkas dan bersahaja tentang serba-serbi lebaran ini membuahkan makna.
Salam budaya bhumiputra,
"Nuswantarajayati".
CATATAN AHLI SEJARAH DARI UNIVERSITAS NEGERI MALANG BAPAK DWI CAHYONO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN BERIKAN KOMENTAR BERKAITAN DENGAN BUDAYA JAWA DI TULUNGAGUNG