Selasa, 12 Juli 2016

LEBARAN (catatan kecil Pak Dwi Cahyono dalam lebaran 2016)

Serba-serbi Kebaran Ke-1
SIKLUS "PURIFIKASI" TAHUNAN ARIADI IDUL FITRI
Mircea Aliade menengarai adanya pola "siklis" dalam perjalanan mikro maupun makro-kosmos selama kurun waktu tertu (tahunan, lima tahunan, dasawarsa, dsb) menurut konsepsi religis pada berberbagai ritus keagamaan. Pola siklis yang demikian, tak terkecuali terdapat dalam ritus Islami, yang dalam konteks perjalanan hidup manusia (mikrokosmos, bhuana alit) dalam kurun waktu satu tahun berjalan dikenal dengan sebutan "Idul Fitri".
Momentum "kemenangan" manusia (manusajayati) dalam menghadapi hawa nafsu (nepsu, kama), yang dikonsepsikan secara religis sebagai "berdampak buruk" dan karenanya mendegradasi kualitas hudup manusia ini, jatuh di setiap tanggal 1 Syawal menurut pertanggalan bulan (lunar system) pada setiap tahunnya. Sebagai suatu kemenangan, maka patut untuk dirayakannya, sebagaimana tergambar pada sebutan "rioyo (riadin, ariadi, riyadi)" dalam arti: hari raya. Dalam ketatanegaraan Republik Indonslesia, Idul Fitri pun ditetapkan sebagai hari besar dan sekaligus hari libur nasional.
Hari yang diposisikan sebagai "hari yang besar" tersebut dalam bahasa Jawa Baru dinamai "bodo". Suatu istilah yang berasal dari bahasa Jawa Kuna/Tengahan, yakni "badha", yang berarti: besar -- bukan dari kata "bakdo" yang berarti: sesudah. Para pemangku Islam di Nusantara mengenal adanya dua bodo/rioyo, yaitu: (1) bodo terkait dengan Idul Fitri, dan (2) bodo yang terkait dengan Idul Adha. Yang terakhir dinamai "boho besar", suatu sebutan perulangan dua kata yang sama arti. Selain Itu pada sejumpah daerah di Jawa terdapat satu tambahan khusus lagi, yang berdasarkan kuliner spesifik sajiannya dinamai dengan "Bodo Kupat".
Dampak degradatif lantaran hawa nafsu tersebut dikiaskan sebagai "kotor (reget, rusuh, lethek) ". Sebaliknya, kemenangan manusia terhadapnya dikiaskan sebagai suatu keberhasilan untuk dapat mengembalikan kepada kondisi "bersih (fitri, resik), sebagaimana kodrat (fitroh) manusia pada mula kelahirannya yang berada dalam kondisi bersih -- bandingkan dengan teori S. Freud mengenai "kertas putih (tabularasa)". Untuk membersihkannya dilakukan upaya religis "pensucian/pembersihan diri (purifiksi)" yang berdurasi panjang (sebulan penuh, sewulan muput)" selama bulan Ramadlon. Ada dua upaya pokok: (1) menjalankan puasa (poso, siam, saum) di bulan Ramadlon bingkai relasi manusia-Illahi (vertikal), dan (2) saling bermaafan sesama manusia di bulan Syawal dalam bingkai relasi antar manusia (horisontal).
Tak tanggung-tanggung, selama satu bulan plus sebulan yang berikutnya, dilakukan ritus purifikasi secara vertikal sekaligus horisontal. Oleh karena itu, jika kemenangan dapat diraihmya, berarti manusia bersangkutan berhasil kembali ke kondisi prima, yakni "mansia yang bersih, lahir maupun batinnya". Perkataan "minal aidin wal faidzin", yang familier diartikan sebagai permohonan maaf lahir dan batin, adalah wahana purifikatif, yakni upaya untuk mengembalikan dirinya sebagai "manusia yang bersih" atau "manusia yang putih".
Ariadi Idul Fitri adalah pula suatu wahana religis untuk transformatif, yakni pengubahan dari kondisi: kotor (rusuh, reget, suker) --》 bersih (resik). Atau dalam kaitan dengan simbolsasi warna, ritus ini mentransformasikan dari kondisi: keruh (lethek) --》 putih, jenih. Dalam hal demikian, puasa Ramadhan dan Idul Fitri adalah upaya purifikatif, yakni suatu ritus "penjernihan, pembersihan, atau pemutihan". Kata kembali "fitri" dalam konteks ini dengan jelas menggambarkan transformasi tersebut.
Upaya transformatif itu mustilah disrlenggarakan secara berulang (perodik), mengingat dari waktu ke waktu manusia berpotensi "mengotori dirinya sendiri" antara lain lantaran ketidakberdayaannya dalam mengatasi dampak buruk dari hawa nafsu. Dalam kaitan itu, Mircea Aliade menyebut adanya upaya berulang yang berpola siklis untuk mengembalikan ke kondisi ideal, kobdisi prima di awal lingkar waktu, yang dia istilahi dengan kondisi "cosmic".
Semoga di hari yang fitri ini (Rabo, 6 Juli 2016 M/1437 H) ini, kita termasuk pada golongan manusia yang "memperoleh kemengan" itu, sehingga menjadi "munusia yang bersih". Amin ya robbal'alamin.
Nuwun.
Dalam bus Malang-Tulungagung, jelang tengah malam 5-7-2016.
CATATAN AHLI SEJARAH BAPAK DWI CAHYONO DARI UNIVERSITAS NEGERI MALANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN BERIKAN KOMENTAR BERKAITAN DENGAN BUDAYA JAWA DI TULUNGAGUNG